Beranda | Artikel
Perbedaan Antara Ikhtilaf (Perselisihan) Dan Iftiraq (Perpecahan)
Sabtu, 13 Maret 2004

PERBEDAAN ANTARA IKHTILAF(PERSELISIHAN) DAN IFTIRAQ (PERPECAHAN)

Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql

Membedakan antara perpecahan dan perselisihan termasuk perkara yang sangat penting. Para ahli ilmu seyogyanya memperhatikan masalah ini lebih banyak lagi. Karena mayoritas manusia -terlebih para du’at dan sebagian penuntut ilmu yang belum matang dalam medalami ilmu agama- tidak dapat membedakan antara permasalahan khilafiyah dengan perpecahan ! Kelirunya, sebagian mereka menerapkan sanksi hukum akibat perpecahan dalam masalah-masalah ikhtilaf. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Penyebabnya tidak lain karena jahil tentang hakikat perpecahan, kapankah perbedaan itu disebut perpecahan ? Bagaimana terjadinya perpecahan ? Siapakah yang berhak memvonis bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah memecah dari jama’ah ?

Oleh sebab itu, sudah sewajarnya mengetahui perbedaan antara perpecahan dan perselisihan. Ada lima perbedaan yang kami angkat sebagai contoh.

Pertama : Perpecahan adalah bentuk perselisihan yang sangat tajam. Bahkan dapat dikatakan sebagai buah dari perselisihan. Banyak sekali kasus yang membawa perselisihan ke muara perpecahan ! Meski kadang kala perselisihan tidak mesti berujung kepada perpecahan. Jadi, perpecahan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar perselisihan. Dan sudah barang tentu, tidak semua ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Maka dapat kita katakan :

Kedua : Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan ! Namun setiap perpecahan sudah pasti ikhtilaf! Banyak sekali persoalan yang diperdebatkan kaum muslimin termasuk kategori ikhtilaf, dimana masing-masing pihak yang berbeda pendapat tidak boleh memvonis kafir atau mengeluarkan salah satu pihak dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Ketiga : Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin yang tidak boleh diperselisihkan. Yakni masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath’i, ijma atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman operasional) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah dari Al-Jama’ah. Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf.

Jadi, ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang, atau ada unsur paksaan dan takwil. Yakni pada masalah-masalah furu’ dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin. Bahkan juga sebagian kesalahan dalam persoalan ushuluddin yang masih bisa ditolerir menurut alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya beberapa persoalan aqidah yang disepakati dasar-dasarnya namun diperselisihkan rincian furu’nya, misalnya masalah isra’ dan mi’raj yang disepakati kebenarannya, namun diperselisihkan apakah dalam mi’raj tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb Ta’ala dengan mata kepala atau mata hati ?

Keempat : Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat pahala lebih banyak lagi. Kadang kala pihak yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Adapun bila ikhtilaf tersebut bermuara kepada perpecahan, tidak syak lagi hal itu tercela.

Sementara perpecahan tidak berpangkal dari ijtihad atau niat yang tulus. Pelakunya sama sekali tidak mendapat pahala bahkan mendapat cela dan dosa. Maka dapat kita katakan bahwa perpecahan itu berpangkal dari bid’ah, menuruti hawa nafsu, taqlid buta dan kejahilan.

Kelima : Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan. Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, atau akibat memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil-dalil sementara belum ditegakkan hujjan atasnya, atau karena uzur, seperti dipaksa memilih pendapat yang salah sementara orang lain tidak mengetahuinya, atau akibat kesalahan takwil yang hanya dapat diketahui setelah ditegakkan hujjah.

MELURUSKAN BEBERAPA KESALAH PAHAMAN
Ada beberapa kekeliruan sebagian orang sekarang ini yang mesti diluruskan, berkaitan dengan beda antara perpepcahan dengan ikhtilaf. Khususnya bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar dan para juru dakwah. Yang lebih banyak lagi disebabkan karena lemahnya ilmu dan pemahaman dalam agama serta minimnya pengalaman, atau karena ketidakjelian dan salah persepsi. Terlebih lagi bagi para penopang dakwah islamiyah pada hari ini.

Beberapa kekeliruan itu di dantaranya.

Pertama : Mengingkari terjadinya perpecahan dalam umat ini. yang berakibat sebagian orang menolak hadits ifftiraq yang telah dinukil secara shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan kesalahan fatal! Beberapa orang berasumsi atau mendakwahkan bahwa perpecahan umat tidak mungkin terjadi! Selintas kelihatannya ia ingin menampakkan keinginan yang tulus bagi umat. Melihat umat secara lahir saja (yaitu semuanya muslimun), Akibatnya ia menolak hadits iftiraq, atau mentakwilkannya kepada makna lain, atau beranggapan bahwa perpecahan hanya terjadi pada kelompok-kelompok yang jelas-jelas di luar Islam atau kelompok-kelompok Islam yang secara jelas telah murtad dari Islam. Ini jelas keliru, bahkan jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan terjadinya perpecahan uma. [1]

Umat memang telah dilanda perpecahan, realita itulah yang benar-benar telah terjadi. Perpecahan termasuk bala’, sementara kebenaran tidak akan tampak kecuali dengan lawannya (kesesatan). Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskannya dalam catatan takdir bahwa pengikut kebenaran sangat sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, meyakini terjadinya perpecahan bukan berarti berburuk sangka terhadap umat! Bahkan begitulah realita yang harus diakui. Berita yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dibenarkan. Dan fenomena perpecahan itu sendiri bukan berarti seorang muslim harus menerimanya tanpa usaha menghindar. Apalagi beranggapan bahwa berpecah itu dibolehkan, rela berpecah, tidak berusaha mencari kebenaran karena pasrah menerima takdir. Namun sebaliknya, perpecahan yang pasti terjadi itu justru mendorongnya mencari dan memegang teguh kebenaran. Memicunya mengenal keburukan untuk dihindari dan dijauhi. Dan hendaklah ia ketahui bahwa kebenaran hanya terdapat pada manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta manhaj Salafus Shalih.

Kedua : Asumsi bahwa perpecahan pasti terjadi, berarti umat harus menerimanya dengan rela. Dan para du’at harus menerima kenyataan ini, menerima kesesatan yang ada tanpa berusaha memperbaikinya. Asumsi seperti ini sering dijadikan alasan melegitimasi perpecahan. Mereka beranggapan seorang muslim bebas memilih kelompok manapun! Beralasan dengan realitas perpecahan yang pasti terjadi. Sehingga setiap orang bebas memilih kelompok manapun yang disukainya, meski jelas-jelas bid’ah dan sesat. Beranggapan boleh bertoleransi dengan kelompok-kelompok tersebut atau berusaha menyatukan mereka.

Ini merupakan anggapan batil, bahkan termasuk memperdayai kaum muslimin. Sudah barang tentu tidak boleh menjadikan hadits iftiraq tersebut sebagai alasan untuk berpecah belah! Atau sebagai dalih menerima bid’ah dan menuruti hawa nafsu atau rela berada di atas kesalahan. Sebab hadits tersebut diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam konteks larangan dan peringatan keras terhadap hal itu.

Lebih parah lagi, sebagian orang yang mengaku juru dakwah berpendapat, selagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan terjadinya perpecahan umat, maka kita terima dan kita benarkan saja bid’ah dan kesesatan yang terjadi sebagai suatu realita ! Bukankah kita tahu bahwa pasti dalam beragama itu ada cemar dan kurangnya! Jelas ini pendapat yang batil, bahkan termasuk perangkap setan yang menjerat umat manusia. Sebab, di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghabarkan terjadinya perpecahan, beliau juga mengabarkan bahwa akan tetap ada satu kelompok yang teguh diatas kebenaran, yaitu Ath-Thaifah Al-Manshurah. Golongan yang senantiasa memegang teguh kebenaran, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Golongan yang menegakkan hujjah yang nyata. Yang membawa panji hidayah bagi siapa yang menghendakinya. Yang menjadi panutan bagi yang ingin kebenaran, kebaikan dan sunnah!.

Jadi, hujjah mesti selalu tegak, kebenaran pasti senantiasa tampak, tidak akan tersamar sedikitpun bagi orang-orang yang memiliki bashirah dan bagi para pencari al-haq yang jujur. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar. Selama kebenaran masih tampak jelas dan panji sunnah masih tetap tegak, siapapun tidak boleh berpaling darinya, meski dengan itu pengikutnya jadi berkurang, baik ia seorang da’i atau bukan. Dan ia tidak boleh menerima bid’ah dan kesesatan meski dengan begitu pengikutnya semakin betambah banyak. Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah) hanya satu dari tujuh puluh tiga kelompok umat ini. Camkanlah hal itu baik-baik.

Maka menerima bid’ah dan kesesatan dengan dalih takdir tidaklah dibolehkan! Anggapan seperti itu termasuk memperdayai kaum muslimin, termasuk pembenaran bagi kebatilan serta berpaling dari kebenaran, dan termasuk juga selain jalan selain jalan orang-orang yang beriman. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.

Ketiga : Menjadikan ikhtilaf sebagai alasan memvonis sesat yang berseberangan dengannya, atau menghukumi mereka keluar dari agama atau dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Serta beberapa sikap kelewat batas lainnya dalam menghukumi pihak yang berseberangan. Tanpa merujuk kepada kaidah-kaidah syari’at dan metode alim ulama dalam masalah ini. Perlu diketahui bahwa dalam memvonis kafir ada batasan dan kaidah yang perlu diperhatikan. Meskipun terhadap ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (hawa nafsu). Sebab vonis kafir, bara’ah (berlepas diri), bughdu (kebencian), hajr (pemboikotan) dan tahdzir (peringatan) tidak boleh dilakukan tanpa meneliti dan menegakkan hujjah terlebih dahulu. Maksudnya, tidak boleh terburu-buru memvonis seseorang keluar dari jama’ah karena bid’ah yang ada padanya atau karena menyalahi syari’at dan menyelisihi sunah. Sebab barangkali ia tidak tahu hukumnya, seorang yang jahil tentunya mendapat uzur (dimaklumi) hingga ia mengetahui ilmunya. Banyak sekali kaum muslimin yang terperangkap lingkungan yang mengitarinya, hingga jatuh kedalam penyelisihan. Hal itu banyak terjadi di beberapa negara-negara Islam. Banyak orang yang mencukur jenggotnya, meninggalkan shalat berjama’ah, melakukan amal-amal yang menyalahi syari’at bahkan mengucapkan kalimat kufur karena lingkungan memaksanya. Sekiranya tidak melakukannya mereka bisa dibunuh, disiksa, atua dirobek kehormatannya!

Jadi, bilamana ia lakukan itu semua karena ‘terpaksa’, maka seorang hakim yang bijaksana hendaknya dapat menggambarkan hukum apa yang layak diajtuhkannya.

Boleh jadi seorang pelaku bid’ah dan seorang yang meyakini i’tiqad sesat meyakininya karena takwil (anggapan keliru), sementara hujjah belum ditegakkan atasnya. Dalam kasus ini, hujjah harus ditegakkan atas mereka ! Barangkali diantara kita pernah melihat seorang melakukan sebuah bid’ah yang pada umumnya dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok sesat, misalnya bid’ah maulid nabi, jika ternyata dia seorang awam yang jahil, maka kita tidak boleh tergesa-gesa memvonis ia orang sesat dan tidak boleh pula menghukuminya keluar dari jama’ah sebelum dijelaskan duduk perkara tersebut dan ditegakkan hujjah atasnya. Adapun perbuatannya dapat kita hukumi sebagai bid’ah. Namun jangan cepat-cepat memvonisnya keluar dari jama’ah atau menghukumi sebagai pengikut aliran sesat hanya karena bid’ah yang dilakukannya sebelum ditegakkan hujjah. Kecuali bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya kafir), akan tetapi risalah kecil ini tidak mungkin memuat perinciannya.

Bahkan sebaliknya, terburu-buru memvonis orang lain keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah furu termasuk bid’ah dan penyimpangan yang tidak boleh dilakukan. Sikap seperti itu sangat tercela. Bila ia melihat saudaranya jatuh dalam perbuatan bid’ah, hendaknya mengecek terlebih dahulu, menanyakannya kepada ahli ilmu, serta menganggap orang yang melakukannya jahil, atau melakukannya karena takwil atau ikut-ikutan saja dan butuh nasihat serta bimbingan. Dan hendaknya ia perlakukan saudaranya itu dengan lemah lembut terlebih dahulu. Sebab tujuan kita adalah membimbingnya kepada hidayah bukan memojokkannya.

Keempat : Tidak mengetahui perkara mana saja yang dibolehkan berbeda pendapat dan mana yang tidak boleh. Yaitu tidak dapat membedakan perkara-perkara khilafiyah dan perkara-perkara yang tidak boleh diperselisihkan. Hal ini banyak menimpa orang awam, bahkan juga para du’at.

Kami akan bawakan beberapa contoh.

1. Sebagian orang menggolongkan beberapa masalah khilafiyah ke dalam masalah ushul (pokok). Tanpa merujuk kaidah dan arahan ahli ilmu serta tanpa bimbingan dari ahli fiqih yang dapat membantu mereka dalam hal ini.

2. Tidak membedakan antara perkara mukaffirah (yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam) dan ghairu mukaffirah (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam).

3. Tidak memperhatikan tingkatan-tingkatan bid’ah, di antara bid’ah ada yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada yang tidak. Banyak sekali kesalahan yang dilakukan seseorang, sebuah kelompok atau jama’ah di vonis kafir secara terburu-buru oleh sebagian oknum. Sebenarnya tidak demikian caranya. Sebab setiap orang yang mengetahui perkara-perkara yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti meyakini bahwa Al-Qur’an mahluk, lalu ia menerapkan hukum kafir itu atas setiap orang yang meyakini demikian tanpa membedakan antara menghukumi ucapan dan menghukumi orang yang mengucapkannya, maka ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah membedakan antara menghukumi kafir, bid’ah atau fasik terhadap sesuatu secara umum dengan menghukumi orang tertentu. Boleh jadi kita menghukumi kufur suatu amalan atau sebuah ucapan, namun bukan berarti setiap orang yang meyakininya, mengucapkannya atau melakukannya jatuh kafir. Banyak sekali orang yang tidak membedakan hal ini. Mereka menjatuhkan vonis kafir secara zhahir saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah takfir (pengkafiran). Padahal vonis kafir tidak boleh dijatuhkan sehingga benar-benar diteliti, ditegakkan hujjah dan dalil, serta telah diketahui tidak adanya alasan dan uzdur lainnya yang menghalangi vonis tersebut terhadap seseorang tertentu. Boleh jadi karena ia jahil, dipaksa atau mentakwil.

Masalah takfir (mengkafirkan), seseorang perlu penelitian lebih dalam dan perlu mendatangi orang yang bersangkutan serta perlu meneliti kondisinya disamping perlu diajak diskusi dan diberi nasihat. Janganlah kita memvonis kafir setiap orang yang melakukan perbuatan kufur, mengucapkan dan meyakini keyakinan kufur. Kecuali dalam masalah-masalah prinsipil yang sudah dikenal luas oleh segenap kaum muslimin. Seperti mengingkari syahadat Laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masalah-masalah prinsip lainnya.

Perlu diketahui, bahwa ada juga beberapa permasalahan usuhuluddin yang tersamar perinciannya atas sebagian orang awam. Seperti masalah sifat Allah, masalah takdir, masalah melihat Allah pada hari Kiamat, masalah syafa’at, mensikapi sahabat dan beberapa permasalahan lain yang tidak diketahui orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar perinciannya atas sebagian ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat kufur tanpa mereka sadari, tanpa mereka sengaja dan tanpa mereka ketahui serta tanpa memperhatikan dengan seksama ucapan yang dilontarkan. Apakah harus dihukumi kafir ? Jawabannya tentu saja tidak!.

Kesalahan besar yang sering dilakukan oleh beberapa oknum-oknum yang suka menghukumi orang lain adalah tidak berhati-hati dalam masalah ini sehingga jatuh dalam bahaya. Khususnya penuntut ilmu yang masih pemula dan masih hijau serta belum matang mendalami ilmu agama melalui para ulama, namun hanya belajar secara otodidak dari buku-buku dan sarana-sarana lainnya, tanpa dibimbing dan dituntun para ulama, dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan dalil dan penetapan hukum. Mereka kerap kali keliru dalam menempatkan kaidah umum dan dalam menerapkan kaidah itu pada perkara-perkara parsial dan kasus-kasus tertentu.

Hukum kufur dan kafir atas sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu, bukan berarti hukum kafir bagi setiap orang yang melakukan, mengucapkan dan meyakininya. Demikian pula halnya hukum-hukum yang berkaitan dengan al-wala’ (monoloyalitas) serta al-bara’ (berlepas diri), bukan berarti setiap orang divonis kafir lalu diterapkan padanya hukum-hukum tersebut.

Sehingga perkaranya menjadi jelas. Maksud kami adalah hukum-hukum al-bara’, sementara al-wala’, adalah hak bagi setiap muslim. Tidak boleh memutus al-wala’, sebab al-wala’ wajib diberikan kepada setiap orang yang menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim sehingga kita mendapatinya menyelisihi identitas tersebut.

Di antara kesalahan mereka juga adalah : Tidak memperhatikan maslahat dan mafsadat serta tidak mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat dan mafsadat. Hal ini juga merupakan salah satu pemicu utamanya.

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu asbabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
______
Footnote.
[1] Akan kami sebutkan nash-nash qath’i yang menunjukkan terjadinya perpecahan umat pada pasal-pasal mendatang


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/465-perbedaan-antara-ikhtilaf-perselisihan-dan-iftiraq-perpecahan.html